(9.2) Fiqih : Pernikahan Monogami, Poligami, dan Nikah Mut'ah
Pendahuluan
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal pernikahan. Pernikahan dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai hubungan sosial tetapi juga sebagai ibadah yang memiliki dimensi spiritual. Dalam perspektif Islam, pernikahan berfungsi sebagai sarana untuk menjaga kehormatan, membangun keluarga, dan memenuhi kebutuhan biologis manusia secara halal. Pandangan Islam tentang pernikahan mencakup berbagai bentuk dan aturan, seperti monogami sebagai prinsip dasar, poligami sebagai kebolehan dengan syarat ketat, serta larangan terhadap nikah mut’ah.
Pentingnya pernikahan dalam Islam ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Rasulullah SAW menyebut pernikahan sebagai bagian dari fitrah manusia. Sebagai ibadah, pernikahan menuntut tanggung jawab besar, terutama bagi pasangan suami-istri dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing.
Konsep Nikah dalam Islam
Pernikahan dalam Islam adalah syariat yang diatur untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Secara umum, nikah diartikan sebagai akad yang menghalalkan hubungan suami-istri dengan rukun dan syarat tertentu. Al-Qur’an menyebut pernikahan sebagai mitsaq ghalizha (perjanjian kuat), karena akad ini melibatkan komitmen yang kokoh antara dua individu untuk hidup bersama.
Pernikahan memiliki beberapa tujuan utama:
Menjaga Kehormatan Diri: Melalui pernikahan, manusia dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara halal dan menghindari perbuatan zina.
Melanjutkan Keturunan: Pernikahan menjadi jalan untuk memiliki anak yang merupakan amanah Allah SWT.
Menciptakan Kasih Sayang: Hubungan suami-istri diharapkan menumbuhkan rasa cinta, kasih, dan ketentraman (QS. Ar-Rum: 21).
Meningkatkan Tanggung Jawab: Melalui pernikahan, seseorang belajar bertanggung jawab terhadap pasangan dan anak-anak.
Membagi Peran dalam Rumah Tangga: Islam menekankan pembagian peran yang adil antara suami dan istri sesuai kodrat masing-masing.
Hukum Pernikahan dalam Islam
Islam memberikan fleksibilitas dalam menentukan hukum pernikahan berdasarkan kondisi individu:
Wajib: Bagi yang mampu menikah dan khawatir terjerumus dalam perzinahan.
Sunnah: Bagi yang mampu menikah, tetapi masih bisa menahan diri dari perbuatan dosa.
Makruh: Jika pernikahan dilakukan hanya untuk memenuhi hawa nafsu tanpa tanggung jawab yang memadai.
Haram: Jika seseorang tidak mampu memenuhi hak-hak pasangan, baik secara lahir maupun batin.
Monogami: Prinsip Dasar dalam Islam
Monogami, yaitu menikahi satu pasangan, merupakan hukum asal pernikahan dalam Islam. Prinsip ini menekankan pentingnya membangun keluarga harmonis dengan tanggung jawab yang dapat dikelola. Islam menganggap monogami sebagai jalan terbaik untuk menciptakan keseimbangan emosional dan mencegah konflik dalam rumah tangga. Dengan memiliki satu istri, seorang suami dapat lebih mudah memenuhi kewajiban lahir maupun batin.
Dasar Monogami dalam Islam:
QS. An-Nisa: 3 menegaskan bahwa jika seorang pria khawatir tidak mampu berlaku adil, maka ia cukup menikahi satu istri saja. Ketidakmampuan untuk berlaku adil dapat mencakup ketidakadilan dalam membagi waktu, perhatian, atau nafkah.
Rasulullah SAW memulai pernikahannya dengan Khadijah RA selama 25 tahun dalam kehidupan monogami. Teladan ini menegaskan bahwa monogami adalah bentuk ideal pernikahan jika tidak ada kondisi darurat yang membenarkan poligami.
Keunggulan Monogami:
Menghindari potensi konflik akibat kecemburuan.
Lebih mudah membangun hubungan emosional yang kuat dengan pasangan.
Memberikan stabilitas dalam rumah tangga.
Poligami: Kebolehan dengan Syarat
Poligami dalam Islam adalah kebolehan bagi seorang pria untuk memiliki hingga empat istri, tetapi dengan syarat-syarat yang ketat. Kebolehan ini bukan untuk memenuhi hawa nafsu semata, melainkan sebagai solusi dalam situasi tertentu yang memerlukan keberlanjutan hubungan rumah tangga.
Dalil tentang Poligami:
QS. An-Nisa: 3 memperbolehkan seorang pria menikahi hingga empat istri, tetapi dengan syarat utama berlaku adil.
QS. An-Nisa: 129 menyebutkan bahwa keadilan mutlak, terutama dalam cinta dan perhatian, sulit dicapai. Oleh karena itu, monogami tetap dianjurkan.
Syarat-Syarat Poligami:
Kemampuan Finansial: Suami harus mampu memberikan nafkah lahiriah kepada semua istrinya secara adil.
Keadilan Waktu dan Perhatian: Suami wajib memberikan waktu yang sama kepada setiap istri.
Persetujuan Istri: Dalam konteks sosial modern, persetujuan istri pertama sering menjadi syarat penting meskipun secara hukum Islam tidak selalu diwajibkan.
Hikmah Poligami:
Mengatasi kondisi darurat, seperti istri yang mandul atau sakit.
Memberikan perlindungan kepada janda dan anak yatim.
Menyeimbangkan kebutuhan biologis dalam situasi tertentu.
Meskipun poligami diizinkan, banyak ulama menekankan bahwa praktik ini tidak dianjurkan jika keadilan sulit dicapai. Rasulullah SAW, dalam teladannya, menunjukkan bahwa poligami dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi tetapi demi kepentingan dakwah, politik, dan sosial.
Nikah Mut’ah: Pernikahan yang Diharamkan
Nikah mut’ah, atau kawin kontrak, adalah bentuk pernikahan sementara yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu dengan kesepakatan antara pria dan wanita. Pada masa awal Islam, nikah mut’ah diizinkan dalam kondisi darurat, seperti saat perang, untuk menghindarkan kaum muslim dari zina. Namun, praktik ini kemudian diharamkan secara tegas oleh Rasulullah SAW.
Dalil tentang Larangan Nikah Mut’ah:
Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menyebutkan bahwa nikah mut’ah diharamkan setelah penaklukan Mekkah.
QS. An-Nisa: 24 juga menekankan pentingnya pernikahan yang berlangsung permanen, bukan sementara.
Alasan Larangan Nikah Mut’ah:
Bertentangan dengan tujuan pernikahan yang mengutamakan hubungan kekal, kasih sayang, dan keberlanjutan keturunan.
Mengubah pernikahan menjadi transaksi yang merendahkan martabat perempuan.
Meninggalkan anak-anak tanpa perlindungan atau pengasuhan ayah.
Nikah Mut’ah di Masa Kini: Meski telah diharamkan, beberapa kelompok tertentu masih mempraktikkan nikah mut’ah. Namun, mayoritas ulama sepakat bahwa praktik ini tidak sah dalam Islam karena bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Hikmah Pernikahan dalam Islam
Islam tidak hanya mengatur hukum pernikahan tetapi juga menyisipkan hikmah di balik aturan-aturan tersebut. Hikmah ini meliputi:
Pemenuhan Kebutuhan Biologis: Pernikahan memberikan saluran halal untuk memenuhi kebutuhan seksual, menghindarkan manusia dari zina, dan memberikan ketenangan jiwa.
Penerusan Generasi: Pernikahan memastikan keberlangsungan keturunan yang berkualitas dan dididik dengan nilai-nilai Islam.
Pembagian Tanggung Jawab: Pasangan suami-istri belajar membagi peran secara adil, menciptakan sinergi yang mendukung keharmonisan rumah tangga.
Peningkatan Kehidupan Sosial: Pernikahan membantu menciptakan masyarakat yang sehat dan bermartabat melalui hubungan keluarga yang baik.
Refleksi dan Kesimpulan
Pernikahan dalam Islam adalah institusi yang sakral dan penuh hikmah. Monogami, sebagai prinsip dasar, menawarkan jalan ideal untuk membangun keluarga yang harmonis. Poligami, meskipun diperbolehkan, hanya dapat dilakukan jika syarat-syarat ketat terpenuhi. Di sisi lain, nikah mut’ah telah dihapuskan karena bertentangan dengan nilai-nilai pernikahan yang diatur dalam syariat.
Suami dan istri, dalam ikatan pernikahan, memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Prinsip keadilan, musyawarah, dan kasih sayang adalah pilar penting yang harus dijaga untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Melalui pengaturan pernikahan ini, Islam menunjukkan bahwa institusi keluarga adalah fondasi utama dalam membangun masyarakat yang sehat dan bermartabat. Oleh karena itu, memahami dan menjalankan
hukum pernikahan sesuai syariat adalah bagian penting dari kehidupan seorang muslim.
Diskusi